KeAllahan Yesus Menurut Yohanes 1:1

Salah satu isu terbesar dalam kekristenan yang terus menerus selalu menjadi bahan perdebatan baik dari kalangan non-Kristen maupun dari kalangan orang Kristen Liberal dan saksi Yehova dan beberapa aliran sesat di dalam kekristenan adalah persoalan mengenai keallahan Yesus. Apakah Yesus adalah Allah? Dan apa saja bukti di dalam Alkitab mengenai keallahan Yesus? Karena menurut golongan non-Kristen dan golongan Liberal di dalam Alkitab, Yesus tidak pernah secara eksplisit menyatakan bahwa Dia adalah Allah.

Menurut kaum Liberal dan non-Kristen, Yesus hanyalah manusia biasa yang dipilih oleh Allah untuk menjadi seorang nabi  yang memiliki kuasa dari Allah. Yesus tidak pernah bereksistensi sebelumnya tetapi hadir di dalam sejarah seperti manusia yang lain berada di dunia, sehingga mereka membedakan antara Yesus sejarah dan Kristus Iman[1].

Sedikit berbeda dari golongan non-Kristen dan kaum Liberal, Saksi Yehova justru melihat persoalan keallahan Yesus ini dari sudut yang berbeda. Bagi saksi Yehova, Yesus bukanlah Allah dan juga bukanlah manusia biasa, tetapi Yesus adalah allah kecil. Berada diantara Allah dan manusia.  dan juga pandangan dari Sabelianisme yang menandaskan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanyalah semacam sebutan untuk peran yang berbeda dari Pribadi yang sama. Artinya Bapa, Anak, dan Roh Kudus bukan Tiga Pribadi, melainkan Tiga Peran dari Pribadi yang sama.  Ketiga pandangan ini tidak memiliki dasar yang kuat dikarenakan didasarkan kepada penafsiran yang salah terhadap Alkitab.

Salah satu bagian Alkitab yang sering menjadi acuan atau dasar dari golongan Liberal,  Saksi Yehova dan bidat Sabelianisme tentang  pandangan ini adalah di dalam Yohanes 1:1. Menurut Saksi Yehova, Yesus bukanlah Allah didasarkan kepada persoalan definite article di bagian akhir dari ayat itu. Untuk itulah perlunya sebuah pemahaman dan penafsiran secara exegetical  untuk menunjukkan kesalahan dari kedua pandangan diatas.

 

Tafsiran Yohanes 1:1 ( Ἐν ἀρχῇ ἦν ὁ λόγος, καὶ ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος.)

 Analisis kata-perkata:  ν : Preposisi (kata depan) di susul datif  ρχ: Feminim, Datif, Tunggal (dari kata ἀρχη) ν : Bentuk Imperfek (dari είμί)   λγος : Maskulin, Nominatif, Tunggal  κα : Kata Penghubung  λγος : Maskulin, Nominatif, Tunggal  ν : Bentuk Imperfek dari είμί  πρς : preposisi (kata depan diikuti Akusatif  τν θεν: Maskulin, akkusatif, tunggal  κα : Kata penghubung  θες : maskulin, Nominatif,  Tunggal  ν: Bentuk Imperfek (dari είμί)   λγος : Maskulin, Nominatif, Tunggal

Kalimat pembukaan dari Yohanes ini menjadi sebuah catatan awal yang menarik untuk dicermati seperti yang diutarakan oleh Houwelingen bahwa “sejak baris pertama sang penginjil ingin menciptakan kejelasan tentang maksudnya”[2]. Pernyataan ini memberikan indikasi bahwa pemahaman yang benar akan bagian ini akan memberikan sudut pandang yang benar pula akan seluruh aspek kekristenan terutama mengenai karya dan kehidupan dari Yesus yang adalah Allah.

Banyak yang meragukan bahwa bagian pendahuluan dari Injil ini bukanlah bagian yang merupakan karya asli dari Rasul Yohanes, tetapi Yohanes mengambilnya dari tradisi yang berkembang pada zaman dia menulis kitab ini dan memasukannya dalam konsep Kristen[3].  Pandangan ini tidak memiliki dasar karena dengan menerima pandangan ini berarti menolak Allah sebagai sumber dari segala sesuatu yang ada di dalam dunia dan yang juga memberikan inspirasi dan juga sebagai penulis utama dari Alkitab. Tetapi sekalipun jika asumsi ini diterima, hal ini bukanlah merupakan sebuah persoalan yang terlalu menakutkan bagi inti iman Kristen seperti yang diutarakan oleh Carson “ If John has used sources in the Prologue we cannot isolate them, for the have been so thoroughly re-worked and woven into a fabric fresh design that there are no unambiguous seams”[4].

Yohanes memulai kitab ini dengan frasa pada mulanya adalah Firman (Ἐν ἀρχῇ ἦν ὁ λόγος). Frasa ini sama dengan kalimat pertama dari kitab Kejadian. Hal ini memberikan indikasi yang kuat bahwa Yohanes sedang merujuk kepada pembukaan dari kitab Kejadian yang menceritakan tentang asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Seperti yang diutarakan Carson “in 1:1-5, John traces his account of Jesus  farther back the beginning of ministry, farther back than the virgin birth, farther back even than the creation”[5].

Kata ἀρχῇ mempunyai arti yang lebih kuat dari sekedar arti pada mulanya. Menurut Carson, kata ini lebih sering merujuk kepada dasar dari segala sesuatu (origin)[6]. Lebih lanjut Carson menyatakan “I want to show you that the starting point of the gospel can be traced farther back than that, before the beginning of the entire universe”[7] Apa yang telah ada pada mulanya atau apakah yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada? Yohanes memberikan pernyataan bahwa “pada mulanya adalah Firman”.

Kata Firman sendiri telah digunakan secara luas pada abad pertama dalam budaya Yunani dengan berbagai penafsiran dan arti yang berbeda-beda pula. Ada yang memiliki arti sebagai prinsip rasional yang melaluinya segala sesuatu berada, atau juga dunia yang ideal dan berbagai penafsiran yang lain lagi. Namun, Yohanes secara khusus mengunakan kata ini untuk merujuk kepada sesuatu yang dalam hal ini dimaksudkan adalah ὁ λόγος  yang telah ada sebelumnya (sejak semula sebelum segala sesuatu ada), dan sampai sekarang masih ada[8].

Dalam Perjanjian Lama di mana, kata Firman dipakai terutama dalam hal penciptaan yaitu menggambarkan bahwa melalui ‘Firman’ inilah Allah menciptakan segala sesuatu, dan tidak ada yang jadi tanpa melalui Firman. Meminjam bahasa Carson Firman adalah “divine self-expression”[9]. Ini dapat dibuktikan dengan kata “Allah berfirman” di dalam Kejadian pasal 1 ketika Allah ingin menciptakan sesuatu.

Jika Firman telah ada sebelum segala sesuatu ada, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa Firman itu sendiri tidak ada awalnya, Dia tidak diciptakan, Dia berada dalam kekekalan,  yaitu bersama-sama dengan Allah, seperti dipertegas oleh Yohanes dengan kalimat selanjutnya “Firman itu bersama-sama dengan Allah”. Carson menyatakan Because the Word, this divine self-expression, existed in the beginning, one might suppose that it was either God, or nothing less than God himself”[10]

Houwelingen memberi komentar untuk bagian ini

“menurut Yohanes, Firman Allah mempunyai juga cara keberadaannya sendiri yang kekal, yaitu disamping Allah dan bersama-sama dengan Allah, Firman itu mandiri sepenuhnya, tetapi sekaligus terikat dengan Allah. Firman itu bukan bentuk pengungkapan ilahi, melainkan suatu keberadaan ilahi[11].

Pernyataan Houwelingen ini menimbulkan sebuah pertanyaan sederhana yang penuh makna. Apakah Firman itu adalah Allah? Berdasarkan penjelasan diatas jawabannya adalah Firman itu adalah Allah, tetapi Dia (Firman) itu adalah pribadi sendiri yang berbeda dengan Allah. Ini dibuktikan dengan penggunaan kata πρὸς oleh Yohanes yang diterjemahkan “bersama dengan”[12] memberikan makna akan kedekatan antara Firman itu dengan Allah sekaligus membedakan antara pribadi Allah dengan Sang Firman itu sendiri[13].  Senada dengan hal itu, Houwelingen mengatakan ‘pada satu pihak, Firman bisa dibedakan dari Allah, Dia mempunyai keberadaan-Nya sendiri yang kekal. Dia itu kepribadian yang berdiri sendiri. Pada pihak lain, Firman itu sama dengan Allah, yaitu dalam arti, bahwa Dia mempunyai bagian dalam kehidupan ilahi”[14]. Artinya bahwa kata “Firman” itu berbicara mengenai sebuah pribadi yang bersama-sama dengan  Allah sekaligus yang berbeda dengan pribadi Allah. Ini menyangkali pandangan Arianisme juga kaum liberal yang menolak keallahan Yesus.

Firman itu adalah Allah (καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος[15]), tidak hanya sekedar memiliki sifat ilahi. Banyak penafsir seperti yang diutarakan oleh Carson mengatakan bahwa karena kata theos tidak memiliki kata sandang maka Yohanes tidak menunjukkan kepada “specific being” tetapi lebih kepada ‘dewa atau allah’[16], sehingga menurut mereka (terutama saksi Yehova) Yesus bukan Allah, tetapi hanya memiliki sifat ilahi.

Daniel B Wallace memberikan jawaban akan hal ini dengan memberikan beberapa kemungkinan[17].

  1. Jika kita tidak memberikan sebuah kata sandang kepada kata θεὸς pada bagian ini, maka implikasi adalah kita akan terjebak kepada bentuk politheisme, Karena ini memberikan sebuah sugesti bahwa Firman adalah Allah kedua di dalam pantheon, dan ini sama saja dengan menyangkali keseluruhan dan tujuan dari penulisan Injil ini bahkan keseluruhan kesaksian Alkitab bahwa hanya ada satu Allah
  2. Jika kita memberikan kata sandang kepada θεὸς pada bagian ini, maka kita akan  terjebak dalam pandangan yang menyatakan bahwa Firman itu identik atau merupakan satu pribadi yang sama dengan Allah (Allah dan Firman adalah satu pribadi dengan wujud yang berbeda) .
  3. Pandangan yang berbeda adalah kata θεὸς lebih bersifat kualitatif, dan ini sejalan dengan struktur teks bahasa Yunani yaitu bahwa ini merupakan nominative predikatif. Pandangan ini lebih sesuai dan seimbang antara keallahan dari Firman dan kekekalannya dan juga pemisahan kedua pribadi tersebut.

Hal lain yang menarik dari struktur teks ini, adalah Yohanes memulai dengan urutan  frasa θεὸς ἦν ὁ λόγος  yang sebenarnya memberikan  penekanan Yohanes akan keallahan Yesus, bahwa Yesus benar-benar memiliki seluruh kualitas keallahan sama seperti yang dimiliki oleh Allah Bapa, dan  ketiadaan kata sandang tertentu dari kata θεὸς mengingatkan kita bahwa Allah Anak (Yesus Kristus) memiliki Pribadi yang berbeda dengan Allah Bapa.

Jadi tidak ada alasan untuk golongan non-Kristen, Arianisme, Sabelianisme, Liberal dan Saksi Yehova untuk menolak keallahan Yesus dan juga menolak ketritunggalan, karena Yohanes pada bagian pertama Injilnya telah begitu jelas dan lugas mengungkapkan akan kedua hal ini secara bersama-sama dalam sebuah kalimat sederhana Ἐν ἀρχῇ ἦν ὁ λόγος, καὶ ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος.

[1] Pandangan ini sebenarnya hampir sama dengan pandangan dari Arianisme yang dipelopori oleh seorang bernama arius pada abad ke-IV Masehi yang secara umum percaya bahwa Yesus adalah ciptaan. Singkatnya Yesus bukan Allah.

[2] P.H.R Houwelingen, Johanes Met evangelie van het Woord (Yohanes: Injil mengenai Firman), Kampen: Kok, 1997

[3] D.A Carson, The Gospel according to John (Leicester, Grand Rapids: Eerdmans, 1991) p 112

[4] Ibid p 112

[5] Ibid p 113

[6] Ibid, p 114

[7] Ibid, p 114

[8] Ini dibuktikan dengan penggunaan ἦν bentuk Imperfek dari είμί, yang memiliki pengertian sesuatu yang telah ada tetapi belum selesai atau tidak.

[9] D.A Carson, The Gospel… p 116

[10] Ibid. p 116

[11] P.H.R Houwelingen, Met evangelie van het Woord (Yohanes: Injil mengenai Firman), hlm 2

[12] Dalam Alkitab berbahasa Inggris hampir semuanya menerjemahkan dengan kata with, walaupun pada umumnya kata pros ini juga dapat diterjemahkan to atau toward

[13] D.A Carson, The Gospel … p 116

[14] .H.R Houwelingen, Met evangelie van het Woord (Yohanes: Injil mengenai Firman), hlm 2

[15] Bagian ini adalah bagian yang terdiri dari dua nominative dan dalam tata bahasa Yunani ini disebut nominative predicative. Kasus nominatif di dalam tata bahasa Yunani merujuk kepada fungsi sebuah kata benda sebagai subjek di dalam kalimat. Ketika subjek tersebut mendapat sebuah to be (equative verb), misalnya: “is” (adalah), maka sebuah kata benda yang lain akan digunakan juga dalam kasus nominatif. Dalam hal ini, kasus nominatif dari kata benda tersebut berfungsi sebagai predikatif nominative. Di dalam tata bahasa Inggris (juga dalam tata bahasa bahasa Indonesia), subjek dan predikatif nominatif dalam sebuah kalimat dapat dibedakan berdasarkan urutan kata (subjek ditempatkan di depan predikatif nominatifnya). Akan tetapi, tidak demikian dalam tata bahasa Yunani. Karena urutan kata dalam tata bahasa Yunani sebenarnya sangat fleksibel. Biasanya, dalam tata bahasa Yunani, penempatan urutan kata di dalam sebuah kalimat berfungsi untuk memberikan penekanan (emphatic) terhadap signifikansi dari kata yang bersangkutan dalam kalimat tersebut. Itulah sebabnya, untuk membedakan subjek dan predikatif nominatifnya, biasanya dilakukan berdasarkan kata benda yang mana yang diberi kata sandang tertentu (definite article).

[16] D.A Carson, The Gospel … p 117

[17] Daniel B Wallace, Greek Grammar,Beyond the Basic an exegetical Syntax of the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1996)

Jangan Mengikuti Emosi Sesaat

Seringkali kita terlalu cepat menghakimi atau menghukum orang lain tanpa tahu fakta yang sebenarnya, hanya karena tidak sesuai dengan persepsi/ rencana kita, sehingga justru lebih sering lagi kita menyakiti orang-orang yang kita cintai. Kita memang perlu terus belajar sebelum terlambat, salah satunya dari kisah di bawah ini:

Siu lan,seorang janda miskin memiliki seorang putrid kecil berumur 7 tahun, Lie Mei. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penh kekurangan membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lainnya.

Suatu ketika di musim dinginm, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Mei menunggu di rumah karena dia akan membeli keranjang kue yang baru. Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumahnya tidak terkunci dan Lie Mei tidak berada di rumah. Marahlah Siu Lan, katanya “dasar tidak tahu diri, hidup sudah susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya”. Lie Mei tidak menunggu di rumah seperti pesannya. Siu Lan menyusun kue dalam keranjang dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya, dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue, bagaimana lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan, sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumahnya di kunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bias pulang. “Putri kecil itu harus di beri pelajaran” gumamnya geram, “Lie Mei sudah berani kurang ajar”.

Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa itu, Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak, dengan segera Siu Lan membopong Lie Mei masuk ke dalam rumah.
Siu Lan menggoncang-goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei, tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei, Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu, isinya sebungkus kecil biscuit yang di bungkus kertas using. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas usang itu…itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca “hi..hi..hi..Mama pasti lupa, ini hari istimewa buat mama, aku membelikan biscuit kecil ini untuk hadiah, uangku tidak cukup untuk membeli biscuit ukuran besar…hi..hi..hi..Mama, selamat Ulang tahun.”

Betapa begitu menyakitkan jika kita kehilangan orang yang kita sayangi oleh karena kesalahan kita dan itu hanya di sebabkan oleh karena keegoisan kita…seringkali kita menemukan bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang diharapkan, atau justru orang-orang yang kita harapkan dan begitu dekat dengan kita justru mengecewakan kita dan itu membuat kita begitu marah dan emosi ( sehingga terkadang kita mengambil suatu keputusan untuk mengakhiri persahabatan atau suatu hubungan dengan mereka) tetapi dari cerita ini kita di beri suatu pengertian bahwa jangan pernah mengambil suatu keputusan pada saat emosi tidak dalam keadaan stabil karena selalu hasilnya tidak baik…!!!

Kursi Musa (Μωϋσέως καθέδρας)! Apa Maksud Perkataan Yesus Dalam Matius 23: 2?

Kursi Musa                   kursi

Yesus dalam pelayanannya sering sekali bertentangan dengan orang Farisi, ahli Taurat dan imam-imam besar Yahudi, bahkan Yesus sering mengecam mereka dengan kata-kata yang sangat keras. Namun, dalam catatan Injil Matius, sebelum Yesus mengecam mereka dengan keras, Yesus pernah mengajarkan bahwa orang-orang Farisi dan Ahli taurat telah menduduki Kursi Musa. Sehingga dalam tulisan kali ini penulis akan mencoba memberikan beberapa kemungkinan penaffsiran terhadap apa yang Yesus maksudkan dengan ‘Kursi Musa’ tersebut.

Yesus menjelaskan bahwa orang Farisi dan ahli Taurat telah menduduki kursi Musa.  Para ahli kembali menemukan kesulitan apakah yang dimaksud dengan perkataan Yesus ini. Apakah Yesus sedang memberikan sebuah bahasa ejekan ataukah memang sebuah pujian. Jika bahasa Yesus ini  dipahami sebagai sebuah bahasa satire (ejekan) maka di dapati kesimpulan bahwa Yesus sedang menyangkali keberadaan dan keabsahan orang-orang Farisi yang pada saat itu diakui secara luas. Hal ini menjadi agak sulit diterima karena seperti dalam catatan Josephus bahwa “orang-orang kota sangat menghormati mereka [orang Farisi], karena mereka berkhotbah dan mempraktekkan ajaran moral yang sangat luhur”.[1] Itu berarti bahwa orang Farisi telah diterima dan diakui pada waktu.  Sedangkan jika dipahami bahwa ini memang adalah sebuah bahasa positif, maka didapati juga sebuah hipotesis yang cukup sulit karena itu berarti bahwa memang Yesus mengakui otoritas penafsiran mereka akan kitab suci. Ketegangan ini, menjadikan teks ini menjadi salah satu teks yang sangat kontroversial dalam Perjanjian Baru

Pengertian yang benar mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kursi Musa’ menjadi sesuatu yang penting dalam teks ini karena ini akan memberikan kita pemahaman mengenai kedudukan orang Farisi dalam periode ‘second temple’ dan juga otoritas mereka pada saat itu.

Setidaknya ada empat pandangan yang diusulkan mengenai pengertian dari ‘kursi Musa’ ini yang dapat dirangkum dalam dua paradigma, yaitu pandangan yang melihat ‘kursi Musa’ sebagai pernyataan yang mesti ditafsirkan secara literal[2] dan yang kedua adalah melihat apa yang Yesus nyatakan itu sebagai bentuk metafora atau figuratif mengenai posisi dan kedudukan orang Farisi pada saat itu.[3]

Bagi mereka yang melihat pernyataan Yesus ini dalam bentuk literal mengacu kepada dua pandangan yaitu (1) Bahwa ini memang mengacu kepada sebuah kursi yang benar-benar ada dalam synagoge atau rumah ibadah orang Yahudi, di mana orang yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum akan duduk[4]. (2) Mengacu kepada sebuah kursi yang didesign dan digunakan dalam synagoge untuk menaruh (menyimpan) gulungan Kitab Suci ketika Kitab Suci tersebut tidak digunakan.[5] Sedangkan sudut pandang yang kedua yaitu melihat ini dalam bentuk metafora, didasarkan kepada dua pandangan juga yaitu (1) Merujuk kepada fakta bahwa orang-orang Farisi telah mengambil hak sebagai penafsir hukum Yahudi.[6] (2) Mengacu kepada posisi sosial yang eksklusif dari orang-orang Farisi yang memiliki akses kepada hukum Yudaisme [taurat] pada saat itu.[7]

Dasar dari sudut pandang literal yang pertama yang merujuk kepada tempat di mana orang yang berhak menafsir taurat duduk mengacu kepada dua hal yaitu pada penemuan arkeologi dan bukti sastra. Bukti arkeologi ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Eleazar Sukenik pada tahun 1934, yang menemukan adanya sebuah kursi batu[8] secara universal dalam synagoge-synagoge Yahudi yaitu di  Chorazin, En Gedi, dan Hammat Tiberias,dan di synagoge  di  Delos dan  Dura-Europos.[9] Dan pada penggunaannya waktu itu,  kursi ini selalu diduduki oleh orang Farisi ketika mereka menafsirkan hukum Taurat pada saat itu.

Bukti arkeologis ini diperkuat juga dengan bukti sastra yang ada, meskipun harus diakui bahwa bukti sastra yang ada tidak terlalu banyak tetapi telah menjadi poin penting untuk menjelaskan bahwa kursi yang ada di synagoge itu memang disebut juga dengan ‘kursi Musa’. Salah satu sumber sastra di luar Perjanjian Baru yang dapat dijadikan rujukan adalah Pesikta de Rab Kahana yang merupakan salah satu tulisan-tulisan awal yang digunakan sejajar dengan Midrash. Tulisan ini diprediksi berasal dari abad ke IV.[10] Dalam salah satu pasal dari Pesikta ini, mengacu kepada seorang sarjana Palestina bernama Rabbi Aha, yang menjelaskan tentang takhta Salomo dengan menyebut bahwa takhta Salomo ini seperti ‘kursi Musa'(דמשה קתדרא כהדא).[11] Tetapi sekalipun demikian, pandangan ini masih diragukan kebenarannya karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bukti sastra mengenai keberadaan ‘kursi Musa’ ini sangat sedikit, bahkan literatur yang memuat fakta tentang kursi Musa ini baru ditulis setelah 150 tahun setalah Injil Matius ini ditulis.  Dan juga karena struktur dari synagoge pada jaman itu yang lebih banyak menggunakan kamar-kamar ketimbang sebuah gedung, dan juga karena peralatan-peralatan dalam synagoge yang lebih banyak menggunakan bahan dari kayu ketimbang batu yang tentu saja tidak akan bertahan lama.

Proposal kedua yang diajukan adalah bahwa kursi ini memang merupakan sebuah kursi yang dibuat secara khusus untuk meletakan gulungan kitab suci ketika tidak digunakan. Dasar dari pemikiran ini adalah pada tradisi dan pola pelayanan di Synagoge terutama yang terlihat pada abad ke enam belas, di mana di setiap synagoge memang memiliki sebuah kursi yang dilubangi dan disebut dengan istilah ‘kursi Musa’, dan ketika tidak ada kebaktian maka kitab suci disimpan di lubang yang telah ada di kursi tersebut.[12]

Meskipun demikian, pandangan ini dianggap tidak mewakili argumentasi yang kuat karena didasarkan kepada fakta yang terjadi pada abad ke enam belas dan bukan pada periode awal. Juga bahwa fakta kursi Hammath memang memiliki lubang tidak serta merta memperkuat argumentasi bahwa memang kursi tersebut sengaja dilubangi, karena lubang yang ada pada kursi tersebut bukanlah sebuah lubang yang rata.[13] Dan juga jika ini mengacu kepada tempat untuk menyimpan Kitab Suci menjadi tidak tepat sesuai dengan konteksnya dengan ucapan Yesus bahwa orang Farisi ‘duduk’ di kursi Musa.[14]

Pandang ketiga merujuk kepada sebuah metafora yang mengacu kepada pandangan bahwa pada faktanya memang orang Farisi telah mendapatkan otoritas sebagai penafsir dari hukum Taurat. Pandangan ini tergambar dengan jelas dalam penjelasn Boring “Moses’ seat’ is a metaphorical expression representing the teaching and administrative authority of the synagogue leadership, scribes and Pharisees”.[15] Dengan demikian ini mengacu kepada pemahaman bahwa orang-orang Farisi telah memiliki hak untuk memberikan penafsiran terhadap hukum taurat itu sendiri.[16]

Meskipun bagi beberapa penafsir kedudukan orang Farisi ini lebih merupakan sebuah metafora yang berkonotasi negatif karena pada dasarnya ini adalah sebuah sindirian terselubung yang merujuk kepada sekolah Rabi dari Yoanan ben Zakkai at Yavneh.[17] Dan juga merupakan sebuah sindiran dari Yesus akan arogansi intelektual dari orang Farisi pada waktu itu.[18]

Persoalan dari pandangan ini adalah melupakan fakta yang ada mengenai penemuan-penemuan arkeologi yang merujuk kepada kursi yang benar-benar ada di synagoge-synagoge pada waktu itu yang disebut dengan ‘kursi Musa’, karena bagaimanapun penemuan-penemuan arkeologi dan bukti-bukti dari literatur-literatur pada saat itu tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Proposal keempat, mengacu kepada kedudukan sosial dari orang Farisi yang mendapatkan hak eksklusif mengakses kitab taurat. Pandangan ini didasarkan kepada pemahaman dan fakta pada masa itu, di mana banyak orang yang buta huruf sehingga tidak dapat membaca hukum Taurat dan juga pada salinan Kitab Suci yang masih sangat jarang sekali, bahkan mungkin Murid-murid Yesus pada saat itu hanya dapat mengetahui hukum Taurat melalui pembacaan dan penafsiran yang dilakukan oleh orang Farisi di synagoge.  Powel menulis “to their social position as people who control accessibility. They are the ones who possess copies of the Torah and are able to read them. They are the ones who know and are able to tell others what Moses said”. [19]

Pandangan ini menarik, tapi agak tidak masuk akal. karena tidak mungkin bahwa masyarakat yang menantikan Mesias akan sepenuhnya tergantung pada orang-orang Farisi untuk akses mereka dengan Kitab Suci. Dan juga pembacaan Taurat tidak mungkin terjadi dalam keniscayaan. Oleh karena itu tak terbayangkan bahwa seseorang bisa mendengar Taurat, atau membaca tanpa dipengaruhi oleh eksposisi nya juga. Selain itu, ada  garis tipis antara apa yang merupakan “membaca” dan apa yang merupakan “menafsirkan” teks Alkitab pada masa itu.

Pandangan Powell yang menyebut bahwa banyak orang yang buta huruf pada saat itu, juga adalah argumentasi tanpa dasar, seperti yang terlihat bahwa murid-murid Yesus pada saat itu, yang walau hanya penjala ikan namun adalah orang-orang yang mampu membaca dan menulis, karena adalah tidak mungkin Yesus, mempercayakan kelanjutan dari pelayanan-Nya di bumi kepada mereka yang tidak memiliki akses kepada hukum taurat.

Berdasarkan kepada pemahaman dan uraian di atas, penulis lebih menyetujui bahwa yang dimaksud dengan ‘kursi Musa’ merujuk kepada sebuah kursi yang memang berada di synagoge yang dipakai oleh mereka yang mengajar di synagoge untuk duduk, sekaligus juga menjadi sebuah metafora dari hak dan otoritas dari orang Farisi untuk menafsirkan hukum Musa tersebut (pandangan pertama dan ketiga).  Fakta bahwa hanya beberapa kursi yang ditemukan di beberapa synagoge tidak mematahkan fakta bahwa memang ada kursi ada saat itu, dan juga fakta literatur yang ditulis 150 tahun setelah Injil Matius ditulis juga tidak memberikan argumentasi penolakan akan keberadaan kursi tersebut.

Dan juga argumentasi yang memang menunjukkan kepada metafora dari apa yang sebenarnya terjadi, bahwa para orang Farisi telah mengambil hak dan otoritas untuk mengajar dan menafsirkan kitab Musa, karena bagaimanapun tidak dapat disangkali bahwa posisi orang Farisi pada saat itu pada periode ‘second temple‘ dalam komunitas keagamaan Yudaisme sangat memiliki peran yang vital, karena mereka adalah penjaga  hukum Musa dan hukum Allah secara de facto sekaligus mereka adalah yang berhak untuk mengeluarkan ajaran penting kepada masyarakat pada saat itu, serta memberi putusan apakah  halakhah yang berkaitan dengan  Taurat Musa dapat diterapkan secara kelompok dan individu dalam masyarakat Yahudi.

Dan juga hal ini sesuai dengan konteks pada zaman itu yang merujuk kepada tanda dari dunia kuno dan periode Perjanjian Baru bahwa tanda otoritatif pada saat itu adalah ‘duduk’.[20]

                [1]  The Antiquuities of the Jews xviii 18.1.3

                [2] Pandangan literal ini ditemukan dalam David Hill, The Gospel of Matthew, The New Century Bible Commentary, (Grand Rapids, MI, 1972), p. 310. lihat juga J. C. Fenton, Saint Matthew, Westminster Pelican Commentaries (Philadelphia, 1963), p. 366; H. Benedict Green, The Gospel according to Matthew, The New Clarendon Bible (London, 1975), p. 189; K. Stendahl, “Matthew,” in Peake’s Commentary on the Bible, eds. Matthew Black and H. H. Rowley (London, 1962), p. 792; W. F. Albright and C. S. Mann, Matthew, AB (Garden City, NY, 1971), p. 278; Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Literary and Theological Art (Grand Rapids, MI, 1982), p. 453-454

                [3] Pandangan figuratif ini terlihat dalam pandnagan beberapa penafsir  seperti F. W. Beare, The Gospel according to Matthew (Oxford, 1981), p. 448. lihat juga  R. T. France, The Gospel according to Matthew, Tyndale New Testament Commentaries (Downers Grove, IL, 1985), p. 324; Walter Grundmann, Das Evangelium nach Matthaus, 5th ed., Theologischer Handkommentar zum Neuen Testament, vol. 1 (Berlin, 1981), p. 483; M.-J. Lagrange, Evangile selon Saint Matthieu, Etudes Bibliques (Paris, 1923), p. 437; F. N. Peloubet, The Teacher’s Commentary on the Gospel according to St. Matthew (New York, 1901), p. 271.

                [4] G. C. Newport, “A Note on the ‘Seat of Moses,’ AUSS (1990) 53–58; see also Donald A. Hagner, Matthew 14–28 (WBC 33B; Dallas: Word, 1995) 659.

                [5] L.Y. Rahmni, “Stone Synagogue Chairs: Their Identification, Use and Significance,” IEJ 40 (1990) 192–214; Cecil Roth, “The ‘Chair of Moses’ and Its Survivals,” PEQ 81 (1949) 100–111.

                [6] Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 541

                [7] Mark Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2–7),” JBL 114 (1995) 419–35.

                [8] Kursi ini terbuat dari batu. Kursi yang  ditemukan di Hammath terbuat dari sebuah batu kapur dengan tinggi 90 Cm dan Lebar 60 Cm, dan batu ini diarahkan menghadap ke jemaat. Dan di depan dari batu ini dituliskan beberapa kalimat (1) ingatlah yang baik untuk Yehuda (2) Ismael (3) Yang menjadikan Stoa (4) Rumah tangga sebagai penghargaan (4) Kiranya selalu berpaut dengan kebenaran. Selain itu juga ditemukan kursi ini di synagoge-synagoge yang lain yang telah ada sejak bangsa Israel kembali dari pembuangan terutama pada masa Makabe. lih. E. L. Sukenik, Ancient Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61.

                [9] E. L. Sukenik, Ancient Synagogues in Palestine and Greece (London, 1934), 57-61.

                [10] Lihat Bernard Mandelbaum, “Pesikta De-Rav Kahana,” in Encyclopaedia Judaica (Jerusalem, 1971), 13: 333-334 and J. Theodor, “Midrash Haggadah,” in Jewish Encyclopedia (New York, 1904), pp. 559-560.

                [11] Solomon Buber, Pesikta de-Rub Kaha’na (1868), sec. 1, p. 12; William G. Braude and Israel J. Kapstein, trans., Pesikta de-Rub Kahana (Philadelphia, 1975), p. 17.

                [12] Cecil Roth, “The ‘Chair of Moses’ and Its Survival,” Palestine Exploration Quarterly 81 (1949) 110-111. Pandangan Roth ini diperkuat dengan fakta bahwa kursi yang ditemukan di Hammath juga memiliki lubang yang dibuat untuk  menyimpan Kitab Taurat ketika digunakan.

                [13] Newport, “A Note on the ‘Seat of Moses’ ” 57.

                [14] Mark Allen Powell “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2-7)” JBL (1995): 431, note 48.

                [15] M. Eugene Boring, “The Gospel of Matthew,” in Leander E. Keck, ed. et. al., New Interpreter’s Bible, Vol 8 (Nashville: Abingdon, 1995), 431.

                [16] Craig S. Keener, IVP New Testament Commentary Series: Matthew (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1997), pp 332-333

                [17] Benedict T. Viviano, “Social World and Community Leadership: The Case of Matthew 23:1–12, 34,” JSNT 39 (1990) 11.

                [18] Cecil Roth, “The ‘Chair of Moses’ and Its Survival,” Palestine Exploration Quarterly 81 (1949) 110

                [19] Mark Allan Powell, “Do and Keep What Moses Says (Matthew 23:2-7), Journal of Biblical Literature 114 (1995), 431-432

                [20] Misalnya, Yesus duduk ketika ia mengajar pada  Khotbah di Bukit (Mat 5: 1), Anak Manusia akan duduk di atas takhta-Nya yang mulia dengan para murid (Mat 19:28; 25:31), Yesus duduk ketika ia menguraikan tentang kitab suci di rumah ibadat (Lukas 4:20), dan ia duduk ketika ia memanggil kedua Belas Murid untuk mengajar mereka (Mrk. 9:35) R. T. France, NIDNTT, mengatakan, “Sitting was often a mark of honor or authority in the ancient world; a king sat to receive his subjects, a court to give judgment, and a teacher to teach.”